Posted inTeknologi

Kisah Pakar Iklim Dipecat Lembaga Penelitian usai Tolak Naik Pesawat

Kisah Pakar Iklim Dipecat Lembaga Penelitian usai Tolak Naik Pesawat

Seorang peneliti  mengaku dipecat setelah menolak pergi naik  demi tak meninggalkan jejak karbon. Benar sih, lalu apa salahnya?

Gianluca Grimalda, pakar tersebut, dipecat setelah menolak permintaan perusahaannya untuk pulang ke Jerman dari wilayah lepas pantai Papua Nugini, Bougainville menggunakan pesawat terbang.

Dia sebetulnya sedang menunggu kapal kargo dalam tempat Bougainville untuk pulang ke Eropa setelah enam bulan menyelidiki dampak kerusakan iklim juga globalisasi terhadap penduduk pulau tersebut.

Sudah lebih lanjut lanjut dari satu dekade ia menghindari bepergian menggunakan pesawat terbang demi mengurangi emisi karbon.

Menurut data yang dirilis Our World In Data pada 2023, sektor transportasi menyumbang sekitar seperempat dari emisi karbon dioksida (CO2) global. Ini diukur dengan total emisi yang dimaksud digunakan dihasilkan seseorang untuk menempuh satu kilometer.

Dari data tersebut, penerbangan domestik lalu jarak berjauhan menjadi penyumbang terbesar emisi CO2, yakni masing-masing 246 gram per penumpang per kilometer juga 193 gram per penumpang per kilometer.

Gianluca menjelaskan perjalanan menggunakan pesawat dari Papua Nugini ke Jerman menghasilkan 5,3 ton CO2 per penumpang dalam waktu 32 jam. Perjalanan yang digunakan digunakan tambahan lanjut lambat menghasilkan sekitar 12 kali lebih lanjut besar sedikit (420kg).

“Dalam kondisi darurat iklim saat ini, membuang-buang 4,9 ton CO2 – sekitar jumlah agregat keseluruhan yang dimaksud hal itu dikeluarkan rata-rata orang dalam dunia dalam satu tahun – untuk mempercepat kepulangan saya ke Eropa bukan dapat diterima secara moral,” kata Gianluca mengutip The Guardian.

Lebih lanjut, Gianluca menghadapi dilema dua minggu lalu ketika atasannya pada dalam Institut Kiel untuk Ekonomi Dunia (IfW) memberinya tenggat waktu untuk kembali ke kantor, yang dimaksud dimaksud berarti dia harus terbang menggunakan pesawat atau terancam kehilangan pekerjaannya.

Ia kemudian menolak perintah itu juga perusahaan akhirnya memutuskan kontraknya.

“IfW sepertinya mengabaikan bahwa kita telah terjadi terjadi memasuki era Antroposen serta bahwa lingkungan bumi yang tersebut mana paling penting hampir runtuh, atau mungkin sudah runtuh,” kata Grimalda.

“Di era ini, membuang 4,5 ton CO2 (perbedaan antara emisi penerbangan dan juga juga emisi perjalanan lambat) untuk memenuhi permintaan yang digunakan dimaksud tiada masuk akal untuk hadir secara fisik di tempat area Kiel dalam waktu sesingkat itu adalah hal yang tersebut yang disebut tak dapat diterima secara moral kemudian juga melambangkan keistimewaan tertinggi dari para elit global.”

“Ini adalah tanda bahwa IfW masih hidup dalam era yang digunakan itu akan terhapus oleh keruntuhan iklim yang itu akan datang.”

Gianluca mengatakan karbon yang digunakan yang dihasilkan oleh penerbangan satu arah ke Eropa dari Kepulauan Solomon lebih lanjut lanjut banyak daripada rata-rata yang digunakan orang yang mana mana tinggal di area area sana dalam satu tahun penuh.

Ia berniat mengajukan banding terhadap keputusan IfW yang digunakan memecatnya, serta mengatakan dia telah lama terjadi mengajukan permohonan bantuan serikat pekerjanya. Namun, dia menambahkan, “Dalam kasus ini, kesan awal adalah tindakan IfW dibenarkan secara hukum.”

Juru bicara IfW mengatakan pihaknya tetap pada kebijakannya untuk tak mendiskusikan atau mengomentari kesulitan staf pada depan umum.

“Secara umum, lembaga ini menyokong juga juga memperkuat stafnya untuk melakukan perjalanan ramah iklim,” kata juru bicara tersebut.

“Kami berkomitmen untuk menghindari perjalanan udara dalam tempat Jerman kemudian negara-negara Uni Eropa lainnya sejauh yang dimaksud digunakan kami bisa. Ketika penerbangan tak dapat dihindari, kami membayar kepada Atmosfair untuk mengimbangi emisi penerbangan melalui proyek perlindungan iklim.”

“Apa yang dimaksud diketahui publik kemudian jelas: Dr Grimalda merencanakan perjalanannya ke Papua lalu melakukan penelitian dengan dukungan kami. Kami mengupayakan perjalanan ‘perjalanan lambat’ kedua yang digunakan mana dilakukannya sebelumnya. Jadi kami tidak ada ada mempunyai keraguan mengenai perjalanan lambat.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *